Zonafakta, JAKARTA – Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan, rencana mkenaikkan tarif iuran jaminan kesehatan nasional yang diwacanakan berlaku pada 2026.
Menurut dia, rencana kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan itu masih dalam pembahasan para pihak terkait.
Kata Ghufron, tarif iuran BPJS Kesehatan sudah saatnya disesuaikan karena biaya layanan kesehatan untuk pengobatan juga terus naik. ‘’Hal tersebut menguras pendapatan iuran BPJS Kesehatan, yang tercermin dari makin bengkaknya rasio beban jaminan terhadap pendapatan iuran,’’ ujarnya dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi IX DPR, Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Ghufron menjelaskan, pada 2024, persentase beban jaminan terhadap pendapatan iuran telah mencapai 105,78%. Rinciannya pendapatan iuran BPJS Kesehatan hanya senilai Rp165,34 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan telah mencapai Rp174,90 triliun.
Angka ini naik dari catatan pada 2023, di mana persentase beban terhadap pendapatannya sebesar 104,72%, dengan rincian pendapatan iuran masih senilai Rp 151,7 triliun sedangkan beban jaminan kesehatannya sebesar Rp 158,85 triliun.
Pada 2022 bahkan pendapatan iuran Rp144,04 triliun, lebih tinggi dari beban jaminan kesehatan yang sebesar Rp113,47 triliun.
“Lama-lama kalau kesadaran masyarakat terhadap pola perilakunya, pola demografi, dan pola penyakitnya mahal-mahal kan enggak cukup, suatu ketika harus disesuaikan. Nah yang dibahas ini kira-kira 2026 mulai naik apa enggak,” katanya.
Ghufron membeberkan, biaya penanganan penyakit noninfeksi atau degeneratif pun, seperti penyakit jantung dan ginjal, semakin mahal dari tahun ke tahun. ‘’Maka, jika tidak ada antisipasi untuk mengamankan aliran dana atau cashflow BPJS Kesehatan, pendapatan iuran tidak akan mampu mengimbangi beban jaminan,’’ ujarnya.
“Nah kita bikin beberapa skenario untuk itu sehingga nanti dipertanyakan kira-kira kesiapannya seperti apa, paling tidak untuk 2026. Tahun 2025 kami pastikan dana jaminan sosial itu sehat, tapi nanti suatu ketika tidak sehat,” katanya.
Dalam raker tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, iuran BPJS Kesehatan memang perlu dilakukan penyesuaian. Pasalnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir belum terdapat kenaikan.
Budi menjelaskan, kenaikan tarif BPJS Kesehatan terakhir dikerek pada tahun 2020. Selama kurun waktu tersebut, menurut dia, terjadi inflasi kesehatan yang mencapai 15% setiap tahunnya. Hal ini yang menjadi landasan dalam rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
“Kita bilang secara jujur bahwa dengan inflasi kesehatan 15% per tahun. Sedangkan tarif BPJS Kesehatan enggak naik lima tahun, itu kan enggak mungkin, jadi harus naik,” ujarnya di hadapan anggota Komisi IX DPR.
Budi mengungkapkan, nantinya kenaikan iuran BPJS Kesehatan perlu dilakukan secara adil untuk menjaga rakyat kecil agar tak terbebani. Untuk itu, dia mengusulkan, bagi masyarakat miskin bakal ditanggung 100%.
“Kita mesti adil gimana caranya yang miskin jangan kena. Itu sebabnya yang miskin tetap akan di cover 100% oleh Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang naik tentu bebannya pemerintah dan pemerintah ngga masalah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Budi menuturkan, dalam diskusi kenaikan tarif BPJS Kesehatan ini terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, mulai dari berapa besar kenaikan iuran, berapa besar belanja kesehatan hingga melihat dari negara-negara ASEAN.
“Seluruh ASEAN berapa sih belanja per GDP semua rata-rata 4%, 5%, 6%. Thailand aja yang agak tinggi 6%, Singapura 7%. Indonesia sendiri kalau lihat kan Rp 614 triliun kalau dibagi GDP kita Rp 15.000 triliun kira-kira 4%-an, itu masih range oke,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR RI Felly Esterita Runtuwene mengatakan kenaikan tarif iuran program BPJS Kesehatan tak bisa terhindarkan. Menurutnya, wacana kenaikan iuran BPJS per 2026 tidak lagi bisa dicegah seiring meningkatkatnya harga obat-obatan.
“Kalau bicara kenaikan, ini tidak bisa kami tahan. Karena sudah sekian tahun dengan harga obat dan lain sebagainya mahal, kenaikan ini tidak bisa ditahan,” ujarnya.
Kendati begitu, Felly menyatakan belum ada pembicaraan soal berapa persen batasan target kenaikan iuran program jaminan kesehatan tersebut.
Dia beralasan DPR masih membutuhkan data yang digunakan untuk menjadi landasan penentuan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Data itu, kata Felly, mencakup pertimbangan keadaan dari peserta BPJS terutama yang masuk kategori peserta bukan penerima bantuan iuran (Non-PBI).
‘’Jangan sampai kenaikan iuran BPJS membebani kondisi ekonomi peserta yang tidak stabil, seperti orang yang baru saja kehilangan pekerjaan,’’ ujarnya.
Karena itu, DPR membuka berbagai wacana tentang siapa yang akan menanggung kenaikan iuran BPJS supaya tidak dibebankan sepenuhnya ke masyarakat. “Cuma masalah kenaikan ini apakah diberikan beban kepada masyarakat itu sendiri, ataukah diambil oleh negara,” ucap Felly.
Di sisi lain, Felly mempersilakan peserta BPJS yang memiliki kemampuan ekonomi untuk membayar kenaikan iuran tersebut, dengan alasan sistem gotong royong.
Sebab, imbuh dia, bagi peserta BPJS Non-PBI bisa sewaktu-waktu menggunakan fasilitas jaminan kesehatan itu kendati sekarang tampak baik-baik saja.
Politikus Partai Nasdem itu mengklaim butuh waktu untuk mendiskusikan wacana kenaikan iuran BPJS dengan Kementerian Kesehatan dan BPJS itu sendiri. “Bagaimana caranya supaya tidak bisa membebankan lagi masyarakat itu sendiri. Kemudian dengan kondisi keuangan kita seperti ini, ini kita butuh waktu untuk dibicarakan bersama dengan pihak pemerintah pengambil kebijakan,” ucap Felly.(*)
Leave a comment